of  

or
Sign in to continue reading...

Geneologi Istilah Ekonomi Islam: Sebuah Perdebatan

By Ahmad Ubaidillah
6 years ago
Geneologi Istilah Ekonomi Islam: Sebuah Perdebatan

Arif, Islam, Salah, Zakat, Daya, Masih


Create FREE account or Login to add your comment
Comments (0)


Transcription

  1. GENEOLOGI ISTILAH EKONOMI ISLAM : SEBUAH PERDEBATAN Ahmad Ubaidillah Program Studi Ekonomi Syari’ah Universitas Islam Lamongan E-mail : ubaidmad@yahoo.com Abstract: Islamic economics as a doctrine recognized in Islam and a science Islamization project in the 21st century has shown astonishing progress.Throughout the history, there have been many Islamic-based financial institutions. On this stand, various higher education institutions have competed to launch such majors as Islamic economics and Islamic finance. However, there have been many criticizing, especially the geneology of the term "Islamic economics."This study aims to answer the questions: 1) when does the term "Islamic economics" appear according to Timur Kuran, the pioneer of Alternative-Critical School? 2), when does the term "Islamic economics" appear according to the Mainstream School in Islamic economics thought? This research is qualitative-descriptive while the unit of analysis is thematic one. In addition, the analysis technique used is taxonomy and critical discourse analysis. The source of data in this study is primary and secondary ones. The result of the research shows: 1) According to Alternative-Critical School, the genealogy of the term "Islamic economics" emerged in the 1940s at the end of colonial India. The term is first coined by Abu al-A'la Maududi. Other seminal contribution to Islamic economics literature is propagated by Sayyid Qutb (Egypt), and Mohammed Baqir Sadr (Iraq). The term "Islamic economics" is used by fundamentalist Islamic groups. 2) According to the Mainstream School, Maududi never coined the term "Islamic economics". The term "Islamic economics" no doubt emerged in the 20th century, but the idea has come into being since the early days of Islam and especially in the writings of Abu Yusuf, al-Mawardi, Ibn Hazm, and other Muslim intellectuals. Keywords: Geneology, Islamic economics, Alternative-Critical School, Mainstream School. Pendahuluan Ekonomi Islam, yang di Indonesia lebih dikenal dengan ekonomi Syariah 1 dan merupakan proyek Islamisasi ilmu pengetahuan di abad ke-21 ini, telah menunjukkan perkembangan yang sangat menakjubkan. Pada tataran teoritis, berbagai literatur, baik dalam bentuk buku, jurnal, pamflet, artikel, maupun lainnya, turut mendewasakan disiplin yang masih bayi ini. Pada tingkat praktis, aneka lembaga keuangan syariah dengan berbagai 1 Terkait penggunaan istilah, “ekonomi Syariah” dan “ekonomi Islam” dibedakan secara tegas. Memang, saat ini ada sebagian kalangan yang lebih menyukai istilah “ekonomi syariah” daripada“ekonomi Islam”, dua istilah yang sering digunakan bersama-sama. Namun untuk beberapa hal, kedua frase tersebut sebenarnya mempunyai implikasi yang berbeda. Arif Hoetoro membedakan kedua frase tersebut. Istilah “ekonomi syariah” agaknya terasa lebih bersifat formalistis, yaitu pendekatan hukum-hukum Islam semata yang dirujukkan langsung kepada Al-Quran dan Al-Sunnah dengan sedikit menafikan aspek kesejarahan. Sedangkan “ekonomi Islam” mempunyai makna yang lebih luas dari hal itu, karena mempertimbangkan pula praktik-praktik ekonomi yang dilakukan kaum Muslim sepanjang masa. Artinya, studi ekonomi Islam merupakan studi yang didasarkan pada pemahaman Al-Quran dan Al-Sunnah sebagai sumber utama hukum Islam, lengkap dengan tradisi-tradisi ekonomi yang pernah dilakukan oleh kaum Muslim. Berangkat dari sini, kita bisa melihat bahwa ekonomi Islam jelas tidak dibangun dari vacuum. Ia memiliki akar sejarah sejak dari masa Nabi Muhammad SAW hingga saat ini (lihat: Arif Hoetoro. Ekonomi Islam: Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi. Malang: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 2007), 11 AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
  2. 190 bentuknya juga ikut menjadi saksi sejarah pertumbuhan keuangan berbasis Islam tersebut . Pada level institusi pendidikan, bermacam-macam lembaga pendidikan tinggi berlombalomba membuka program studi ekonomi dan keuangan Islam guna mengorbitkan sistem alternatif itu. Pendeknya, pasar ekonomi dan keuangan Islam dikunjungi oleh banyak pembeli dari berbagai ranah. Yang lebih menarik, para pemasok literatur ekonomi Islam ternyata tidak hanya datang dari kalangan umat Islam sendiri, tetapi juga muncul dari lingkaran umat non-Muslim2. Para pengguna jasa keuangan Islam terbukti juga bukan hanya dari pemeluk Islam, melainkan juga dari penganut agama non-Islam. Ini menunjukkan betapa hebatnya disiplin baru berbasis Islam tersebut: Ia mampu membuat umat beragama di luar Islam begitu tertarik. Di sinilah penulis melihat Islam berkesempatan, dengan meminjam istilah filsuf Italia, Antonio Gramsci, ‘menghegemoni’ jalan pikiran dan perbuatan umat manusia dengan nilai-nilai antroposentris dan teosentrisnya. Dari literatur-literatur sejarah perekonomian dunia, kita bisa mengetahui bahwa sistem ekonomi sosialisme-komunisme sudah rontok. Runtuhnya Soviet dan ambruknya Tembok Berlin adalah tanda-tandanya. Sementara itu, sistem ekonomi kapitalisme nafasnya sudah “Senin-Kamis”. Berbagai krisis kerap kali “meresesi” sistem ekonomi yang mempunyai landasan filosofis individualisme-liberalisme dan bercorak eksploitatif-opresif tersebut. Salah satu penyebab kemunculan ekonomi Islam adalah inflasi kesadaran ekonom-ekonom Islam untuk memperbaiki atau mengganti sistem-sistem ekonomi dunia yang tidak mampu lagi mensejahterahkan umat manusia tersebut. Banyak orang mengatakan bahwa milenium ke-3 ini adalah masanya sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi yang digali, terutama dari Al-Quran dan Sunnah ini, diyakini akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi dunia. Sejumlah ekonom Islam 3 percaya bahwa pengangguran, kemiskinan, ketimpangan pendapatan, ketidakadilan, dan masalahmasalah ekonomi lainnya akan bisa ditanggulangi dengan sistem ekonomi berasal dari firman Allah SWT dan teladan perbuatan, perkataan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW tersebut. Namun, tidak sedikit juga orang mengabarkan kepada kita bahwa cita-cita yang mulia itu saat ini tersuruk dalam euforia penonjolan simbol-simbol agama (Islam). Akibatnya, tujuan luhur tersebut belum bisa dicapai secara maksimal. Selain untuk memperbaiki dan mengganti sistem-sistem ekonomi yang tidak lagi digdaya dalam mengatasi persoalan-persoalan ekonomi manusia, kehadiran ekonomi Islam juga bertujuan mengimbangi kekuatan ekonomi negara-negara imperialis yang menyerang dunia Muslim. Maka, setidaknya ada dua bentuk reaksi yang muncul terkait kemunculan imperialisme di negara-negara Muslim. Pertama, marxisme. Kedua, gerakan Islam fundamentalistis. Akan tetapi, kedua respon atas imperialisme dan kolonialisme Barat ini 2 Angelo M. Venardos dengan bukunya “Islamic Banking and Finance in South-East Asia: Its Development and Future” (Singapore: World Scientific Publishing, 2005) atau Keon Chee dengan karyanya “Islamic Finance: Why It Makes Sense” (Singapore: Marshal Cavendish, 2010), adalah beberapa contoh dari sekian banyak penulis non-Muslim yang menulis ekonomi dan keuangan Islam. 3 Istilah “ekonom Islam (Islamic Economist)” digunakan oleh Timur Kuran untuk menujukkan seorang ekonom yang menganut ajaran-ajaran ekonomi fundamentalisme Islam, bukan hanya seorang ekonom dengan keyakinan Islam, atau dipengaruhi ajaran-ajaran Islam. Lihat Kuran,“Fundamentalism and Economy”, dalam Remaking Polities, Economies, and Militance, Martin E. Marty and R. Scott Appleby (ed) (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1993), 290. Lihat juga, Islam and Mammon: The Economic Predicaments of Islamism. (Princeton: Princeton University Press, 2004), 82 AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
  3. 191 tidak mampu menciptakan perubahan sosial masyarakat Muslim pada tingkat evolusi sosial saat ini . Apapun ideologi resmi yang dianut penguasa, struktur dasar kebanyakan negaranegara Muslim masih bersifat eksploitatif dan otoriter. Cara produksi bergaya feodalistis dan kapitalistis tersebut masih bertahan dalam berbagai bentuknya. Munculnya agenda ekonomi yang diusung oleh kelompok Islam fundamentalistis adalah salah satu reaksi atas kekuatan ekonomi negara-negara asing tersebut.4 Antusiasme para eksponen ekonomi Islam dalam mengembangkan ekonomi yang bersumber dari ajaran-ajaran Islam ini ternyata berbanding lurus dengan kegairahan sejumlah kalangan dalam melancarkan kritik. Salah satunya adalah kritik tentang geneologi istilah ekonomi Islam. Ada sebuah anggapan yang diterima secara umum di kalangan pengkaji dan peminat ekonomi Islam bahwa ekonomi yang prinsip-prinsipnya berdasarkan ajaran-ajaran Islam muncul seiring lahirnya Islam itu sendiri. Beragam produk wacana yang digelorakan para eksponen ekonomi Islam telah diterima sebagai kebenaran begitu saja (given) dan “a historis”, tanpa kesadaran bahwa kebenaran merupakan wujud nyata dari relasi kepentingan dan kuasa. Lalu pertanyaan yang bisa diajukan adalah kapan sebenarnya asal-usul munculnya istilah ekonomi Islam tersebut? Dalam tulisan ini, penulis akan mendedahkan pendapat Timur Kuran sebagai pelopor Mazhab Alternatif-Kritis tentang asal-usul kemunculan istilah ekonomi Islam dengan berbagai kritik balik yang datang dari ekonom-ekonom Islam lainnya, terutama yang datang dari Mazhab Mainstream dalam peta pemikiran ekonomi Islam. Mazhab-mazhab Pemikiran Ekonomi Islam Setali tiga uang dengan pemikiran ekonomi konvensional 5 , dalam ekonomi Islam, kehadiran mazhab atau aliran pemikiran tidak dapat dihindari. Adiwarman A. Karim membagi mahzab ekonomi Islam menjadi tiga bagian besar: Mazhab Iqtishādunā, Mazhab Mainstream, dan Mazhab Alternatif-Kritis. Pertama, Mazhab Iqtishādunā. Mazhab ini dipelopori oleh Baqir as-Sadr dengan bukunya yang fenomenal Iqtishādunā (Our Economics). Mazhab ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi tidak pernah bisa sejalan dengan Islam. Ekonomi tetap ekonomi, dan Islam tetap Islam. Keduanya tidak pernah dapat disatukan karena keduanya berasal dari filosofi yang kontradiktif. Yang satu anti-Islam, yang lainnya Islam. Menurut pandangan mereka, perbedaan filosofis ini berdampak pada perbedaan cara pandang keduanya dalam melihat masalah ekonomi. Menurut ilmu ekonomi yang sudah kita kenal, masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas, sementara sumber daya yang tersedia untuk memuaskan keinginan manusia jumlahnya terbatas. Mazhab Iqtishādunā menolak pernyataan ini, karena menurut mereka, Islam tidak mengenal adanya sumber daya yang terbatas. Mazhab ini berusaha menyusun teori-teori baru dalam ekonomi yang langsung digali dan dideduksi dari Al-Quran dan As-Sunnah. Selain 4 Omar Asghar Khan, “Economic Aspect of Islamisation in Pakistan”, dalam Jomo K.S. (ed.) Islamic Economic Alternatives: Critical Perspectives and New Directions. (Kuala Lumpur: Ikraq, 1993), 151 5 Dalam ekonomi konvensional (Barat), kita mengenal aliran ekonomi praklasik, klasik, neoklasik, marxis, historis, instituisonal, moneteris, dan lain sebagainya. Munculnya aneka aliran tersebut biasanya bertujuan mengkritik, mengevaluasi, mengkoreksi, dan memberikan solusi atas aliran-aliran ekonomi sebelumnya, yang gagasannya dinilai tidak lagi mampu menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi. (lihat misalnya Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi. cet-7 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada., 2012), 5-7. AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
  4. 192 Muhammad Baqir as-Sadr sendiri , tokoh-tokoh mazhab ini adalah Abbas Mirakhor, Baqir alHasani, Kadim as-Sadr, Iraj Toutouchian, Hedayati, dan lain sebagainya. Kedua, Mazhab Mainstream. Mazhab ini berbeda pendapat dengan mazhab Iqtishādunā. Mazhab kedua ini justru setuju bahwa masalah ekonomi muncul karena sumber daya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas. Keterbatasan sumber daya memang ada, bahkan diakui pula oleh Islam. Tokoh-tokoh mazhab ini di antaranya adalah M. Umer Capra, M. Abdul. Mannan, M. Nejatullah Siddiqi, dan lain sebagainya. Ketiga, Mazhab Alternatif-Kritis. Pelopor mahzab ini adalah Timur Kuran (Ketua Jurusan Ekonomi di University of Sourthen California), Jomo (Yale, Cambridge, Harvad, Malaya), Muhammad Arif, dan lain-lain. Mazhab ini mengkritik mazhab-mazhab sebelumnya. Mazhab Iqtishādunā dikirik sebagai mazhab yang berusaha menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah ditemukan oleh orang lain. Menghancurkan teori lama, kemudian menggantinya dengan teori baru. Sementara itu, Mazhab Mainstream dikritiknya sebagai jiplakan dari ekonomi neoklasik (modern) yang menghilangkan variabel riba dan memasukkan variabel zakat dan niat.6 Selain mazhab-mazhab yang telah disebutkan di atas, sejauh pengamatan penulis, ada satu mazhab lagi berasal dari Indonesia yang mengkritik mazhab mainstream sebagai aliran yang mengkampanyekan Islamisasi ilmu ekonomi konvensional, yaitu mazhab Hamfara yang berarti Hadzā Min Fadli Rabbī. Dwi Condro Triono7 sebagai orang yang bersuara lantang dalam mazhab ini mengatakan bahwa pengembangan ekonomi Islam yang ada sekarang ini sudah terperangkap ke dalam rel ekonomi Kapitalisme. Dalam bukunya yang sangat terkenal, “Ekonomi Islam Mazhab Hamfara”, Triyono ingin meluruskan kembali arah ilmu ekonomi Islam untuk bisa kembali kepada rel yang seharusnya, yaitu “rel ekonomi Islam” yang murni. Sebuah aliran ekonomi Islam yang benar-benar berasal dari karunia Allah SWT, yaitu ekonomi karunia Tuhan, bukan sekadar proses Islamisasi ilmu ekonomi konvensional (kapitalisme).8 Contoh yang paling jelas, menurut Triono, dan telah berlangsung pada masa sekarang ini adalah tren munculnya berbagai lembaga keuangan Islam (syariah). Sesungguhnya berbagai lembaga keuangan Islam ini muncul sepenuhnya hanyalah “membebek” pada lembaga keuangan yang berasal dari ekonomi kapitalisme. 9 Membicarakan pemikiran ekonomi Islam, sekalipun dasar-dasarnya sama tetapi dalam pengaktualisasian dasar-dasar tersebut mengalami perbedaan karena berbeda latar belakang. George Ritzer melihat faktor-faktor perbedaan atau yang menyebabkan berbeda antar komunitas atau antar sub-komunitas dalam satu cabang ilmu, khususnya ilmu ekonomi Islam menjadi tiga faktor. Pertama, karena dari semula pandangan filsafat yang mendasari pemikiran ilmuwan tentang apa yang semestinya menjadi subtansi dari cabang ilmu yang dipelajarinya itu berbeda. Dengan demikian, asumsi atau aksiomanya menjadi berbeda antarkelompok ilmuwan yang satu dengan kelompok ilmuwan yang lain, dalam cabang ilmu yang bersangkutan. Dengan kata lain, di antara komunitas-komunitas ilmuwan itu terdapat 6 Adiwarman A. Karim. Ekonomi Mikro Islami, Cet-3 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), 30-33. Dwi Condro Triono lahir di Rembang pada tanggal 8 Pebruari 1967. Karya-karya yang dihasilkan di antaranya: “Ekonomi Islam Mazhab Hamfara”, “Pahala “Investasi”, Dosa “Investasi”, dan “Ilmu Retorika untuk Mengguncang Dunia”. Semuanya diterbitkan oleh Itikaz. 8 Dwi Condro Triono, Ekonomi Islam Madzhab Hamfara. Cet-3 (Yogyakarta: Irtikaz, 2014),vi 9 Ibid., 93 7 AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
  5. 193 perbedaan pandangan yang mendasar tentang pokok persoalan apa yang semestinya dipelajari oleh cabang ilmu yang bersangkutan . Kedua, sebagai konsekuensi logis dari pandangan filsafat yang berbeda itu maka teori-teori yang dibangun dan dikembangkan oleh masingmasing komunitas ilmwuan itu berbeda. Pada masing-masing komunitas ilmuan berusaha tidak hnaya untuk mempertahankan kebenaran teorinya, tetapi juga berusaha melancarkan kecaman terhadap kelemahan teori dari komunitas ilmuwan yang lain. Ketiga, metode yang dipergunakan untuk memahami subtansi ilmu itu berbeda di antara komunitas ilmuan itu 10. Ketiga faktor inilah yang menjadi awal sebab arena pergulatan pemikiran di kalangan ahli ekonomi Islam yang kemudian melahirkan beberapa mazhab yang saling bersaing untuk mendapatkan dominasi dari paradigma masing-masing. Namun demikian, semua pemikiran yang ada, secara positif memberikan kontribusi yang luar biasa dalam upaya memahami pemikiran ekonomi Islam. Masing-masing mazhab memberikan efek dan memiliki pendukung sendiri. Di samping itu, kemunculan aliran-aliran pemikiran ekonomi Islam ini yang seringkali bertentangan satu sama lain ini, akan akan menjadi nafas kehidupan intelektual dan batu loncatan ke arah kemajuan ekonomi Islam itu sendiri. Signifikansi Pembacaan Geneologis Istilah Ekonomi Islam Menggunakan konsep geneologi untuk menelusuri istilah ekonomi Islam akan sangat bermanfaat. Perhatian terhadap pengungkapan kebenaran asal-usul istilah ekonomi Islam terkait langsung dengan geneologi kekuasaan Michel Foucault, karena sebagaimana pandangan Foucault, pengetahuan dan kekuasaan terjalin erat. Geneologi adalah sejenis sejarah intelektual yang sangat khas sifatnya, cara mengaitkan kandungan-kandungan historis ke dalam lintasan teratur dan tertata yang mengungkapkan secara sederhana asal-usulnya atau realisasi niscaya dari tujuan-tujuan. Secara inheren, geneologi bersikap kritis, melibatkan “interogasi tidak kenal lelah” atas hal-hal yang diyakini sebagai takdir, keniscayaan, alamiah atau netral. Lebih spesifik lagi, geneologi berbicara tentang hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan di dalam ilmu-ilmu kemanusiaan dan praktik yang terkait dengan regulasi tubuh, pengaturan tindakan, dan pembentukan diri.11 Ada sebuah anggapan yang diterima secara umum di kalangan pengkaji dan peminat ekonomi Islam bahwa ekonomi yang prinsip-prinsipnya berdasarkan ajaran-ajaran Islam muncul seiring lahirnya Islam itu sendiri. Beragam produk wacana yang digelorakan para eksponen ekonomi Islam telah diterima sebagai kebenaran begitu saja (given) dan “a historis”, tanpa kesadaran bahwa kebenaran merupakan wujud nyata dari relasi kepentingan dan kuasa. Misalnya, kredo bahwa ekonomi Islam lahir dan berakar dari sejarah Islam awal, yaitu Nabi Muhammad SAW dan empat khalifah pertama tanpa pembacaan kritis. Akhirnya, ekonomi Islam jatuh pada ruang lingkup superior dan bersifat sakral, sebagaimana yang selama ini diyakini sebagian umat Islam, terutama sekali kelompok fundamentalisme Islam (Islamisme). Padahal kebenaran, sebagaimana yang dipahami Foucault merupakan produk beragam “rezim diskursif” yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini ia mengatakan: 10 George Ritzer. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. (Jakarta: CV Rajawali, 1984), 9-10 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Alih bahasa Nurhadi (Yogyakarta: Pustaka pelajar), 654 11 AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
  6. 194 “I believe, is that truth isn’t outside power or lacking in power: contrary to a myth whose history and functions would repay further study, truth isn’t the reward of free spirits, the child of protracted solitude, nor the privilege of those who have succeeded in liberating themselves. Truth is a thing of this world: it is produced only by virtue of multiple forms of constraint. And it induces regular effects of power. Each society has its regime of truth, its “general politics” of truth—that is, the types of discourse it accepts and makes function as true; the mechanisms and instances that enable one to distinguish true and false statements; the means by which each is sanctioned; the techniques and procedures accorded value in the acquisition of truth; the status of those who are charged with saying what counts as true”12 Menurut Foucault, kebenaran merupakan produk relasi pengetahuan dan kuasa melalui medium wacana yang hadir di dunia (baca: sejarah) manusia. Ia tidak percaya bahwa ekonomi sebagai satu-satunya dasar sejarah, sebagaimana maklumat Karl Marx. Justru, wacanalah yang merupakan sumber dari sejarah. Oleh sebab itu, Foucault berusaha menggeser poros perhatian filsafat; aktifitas filsafati tidak lagi mencari hakikat kebenaran, atau pun mencari relasi kebenaran dengan benda dan sesuatu, melainkan mengungkap bagaimana wacana (misalnya kegilaan, seks, tubuh, ekonomi, dan sebagainya.) dibentuk dan tampil sebagai kebenaran. Dengan kata lain, berfilsafat adalah menguraikan sejarah ide bukan untuk menegaskan akan kebenarannya, tetapi bertujuan menyingkap asal usul dan silsilah beragam “episteme”, yakni kumpulan kaidah yang melandasi dan mengatur produksi wacana pada suatu masa tertentu, melalui penelusuran berbagai kondisi produksi wacana. Dalam hal ini dia mengatakan:“The episteme […] it is the totality of relations that can be discovered, for a given period, between the sciences when one analyses them at the level of discursive regularities”13“My aim is to uncover the principles and consequences of an autochthonous transformation that is taking place in the field of historical knowledge. It may well be that this transformation, the problems that it raises, the tools that it uses, the concepts that emerge from it, and the results that it obtains are not entirelyforeign to what is called structural analysis. But this kind of analysis is not specifically used; —my aim is most decidedly not to use the categories of cultural totalities (whether world-views, ideal types, the particular spirit of an age) in order to impose on history, despite itself, the forms of structural analysis. The series described, the limits fixed, the comparisons and correlations made are based not on the old philosophies of history, but are intended to question teleologien and totalizations”14 Metode yang digunakan disebutnya “arkeologi” dan “genealogi”. Arkeologi bertujuan menyingkap pelbagai sistem dan model pemikiran dalam sejarah, serta menelaah asal-usul dan silsilah perkembangannya yang disebut Foucault sebagai genealogi. Singkatnya, bagi Foucault, sejarah adalah sebuah suksesi dari tatanan-tatanan pengetahuan dan kekuasaan berbeda yang secara radikal mendefinisikan apa yang dianggap benar. Adapun sumber kebenaran dan pengetahuan adalah bahasa, wacana, dan episteme yang dipraktikkan dan diproduksi oleh beragam aparatus dan rezim dalam masyarakat. Jadi, segala hal atau peristiwa 12 Michel Foucault. “Truth and Power”. in The Chomsky and Foucault Debate on Human Nature. (New YorkLondon : the New Press, 2006), 168 13 Michel Foucault. 2004. The Archeology of Knowledge. (London: Routledge, 2004), 148 14 Ibid.,13 AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
  7. 195 apapun dalam sejarah kemanusiaan tidak ada yang luput dari pengaruh relasi pengetahuan dan kuasa , tidak terkecuali ekonomi Islam. Selain itu, istilah “genealogi” di sini didefinisikan baik dalam artian konvensional maupun artian Foucauldian. Mengikuti studi-studi sejarah dan antropologi tradisional, “genealogi” bisa didefinisikan sebagai studi mengenai evolusi dan jaringan dari sekelompok orang sepanjang beberapa generasi. Konsep genealogi ini berguna untuk memperhatikan gerak perkembangan diakronik dan rantai intelektual antar-generasi dari para eksponen ekonomi Islam. Dalam artian Foucauldian, sebagaimana dijelaskan oleh Yudi Latif, “genealogi” merupakan sejarah yang ditulis dalam terang penglihatan dan kepedulian (concerns) masa kini. Dalam pandangan Foucault, sejarah selalu ditulis dari perspektif masa kini. Sejarah merupakan pemenuhan atas sebuah kebutuhan masa kini. Fakta bahwa masa kini selalu berada dalam sebuah proses transformasi mengandung implikasi bahwa masa lalu haruslah terus-menerus dievaluasi-ulang. Dalam artian ini, “genealogi” tidak berpretensi untuk kembali ke masa lalu dengan tujuan untuk memulihkan sebuah kontinuitas yang tak terputus. Justru sebaliknya, “genealogi” berusaha mengidentifikasi hal-hal yang menyempal (accidents), mengidentifikasi penyimpangan-penyimpangan yang kecil (the minute deviations)’. Genealogi, menurut Foucault dan Lechte, sebagaimana yang dikutip oleh Latif, memfokuskan diri pada retakan-retakan, pada kondisi-kondisi sinkronik dan pada tumpang tindihnya pengetahuan yang bersifat akademis dengan kenangan-kenangan yang bersifat lokal. 15 “Genealogi” dalam artian ini berguna untuk memperhatikan dinamika, transformasi, dan diskontinuitas dalam gerak perkembangan historis ekonomi Islam. Oleh karena itu, dengan menerapkan pembacaan secara genealogis, penelitian ini akan menempatkan keadaan-keadaan sinkronik (perubahan pada saat-saat tertentu) dalam kerangka waktu yang diakronik (lama-sinambung) atas istilah ekonomi Islam. Pandangan Mazhab Alternatif-Kritis Menelusuri asal-usul sesuatu memang mengharuskan pencari asal-usul melacak sejarah sekaligus siapa yang mencetuskannya. Istilah-istilah dalam ilmu pengetahuan pasti memiliki akar historisnya, tidak terkecuali istilah ekonomi Islam. Oleh karena itu, mengetahui istilah berarti menyaksikan kelahiran bidang keilmuan tertentu. Menurut Kuran, istilah “ekonomi Islam” muncul pada tahun 1940an. Istilah tersebut pertama kali dicetuskan oleh Abu al-A’la Mawdudi (1903-1979), yang tujuannya adalah lebih memelihara identitas agama dan warisan budaya minoritas Muslim India ketimbang memecahkan persoalan-persoalan ekonomi. Mawdudi mulai menunjukkan “keserbamencakupan” Islam sebagai sumber petunjuk dengan mengemukakan pendekatan Islam secara berbeda terhadap berbagai macam bidang, termasuk ekonomi. 16 Ekonomi Islam muncul di akhir masa penjajahan India sebagai kampanye untuk mempertahankan identitas agama dan budaya tradisional minoritas Muslim di negara tersebut, 15 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2012), 6-7 16 Timur Kuran, Economic Theory, dalam Gerhard Bowering (ed) The Princeton Encyclopedia of Islamic Political Thought (Princeton University Press, 2013), 142 AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
  8. 196 yang jumlahnya lebih dari seperlima total jumlah penduduk . 17 Melalui ceramah, pidato, dan publikasi, selain mempopulerkan istilah “ekonomi Islam”, Mawdudi juga mempopulerkan istilah-istilah lain yang dengan cepat menjadi elemen utama wacana para Islamis, termasuk istilah “Ideologi Islam”, “Politik Islam”, “Konstitusi Islam”, dan “Cara hidup Islam”. 18 Kemunculan ekonomi Islam adalah salah satu respon atas keterbelakangan ekonomi di dunia Islam. Kuran mencatat setidaknya ada empat respon: modernisme sekuler, modernisme Muslim, Islamisme konservatif, dan Islamisme reformis. Mawdudi masuk ke dalam kelompok Islamisme reformis, yang melakukan pembaharuan agama (Islam) dengan mempromosikan modernisasi tanpa westernisasi. Mawdudi berbeda dengan Islamis konservatif, yang merasa penting menghadapi Barat secara kreatif. Dia juga berbeda dengan semua kelompok modernis yang menegaskan bahwa pembaharuan harus memiliki kararter Islam. 19 Karena ingin mempromosikan ekonomi Islam sebagai solusi unggul terhadap sistem kapitalisme dan sosialisme, sebagaimana sistem ekonomi yang berlaku pada masanya, Mawdudi menawarkan perbankan Islam sebagai sistem keuangan yang adil dengan ciri pelarangan terhadap bunga, zakat sebagai dasar sistem redistribusi, yang dimaksudkan untuk mengentaskan kemiskinan, dan norma-norma perilaku ekonomi yang digali dari sumbersumber tradisional Islam sebagai obat untuk penyakit korupsi dan ketidakpercayan dalam aktivitas ekonomi. Menurut Kuran, sebelum tahun 1940an, para reformis Muslim yang berbicara tentang pertahanan, reformasi, atau revitalisasi Islam tidak menujukkan ketertarikan pada pemikiran ekonomi. Mereka yang menaruh perhatian pada persoalan-persoalan ekonomi pun tidak mempromosikan pembaharuan yang digali dari sumber atau ajaran Islam atau bahkan mengembangkan wacana yang secara eskplisit Islami. Penulis Muslim besar pada awal abad ke-20 asal India, Muhammad Iqbal (1878-1938), menulis tentang ekonomi dan juga tentang masa depan Islam, tetapi dia tidak menghubungkan dua tema besar tersebut (Islam dan ekonomi). Dengan demikian, menurut Kuran, seseorang tidak akan bisa menemukan jejak konsep ekonomi Islam dalam karya-karya penulis yang memberikan kontribusi besar terhadap pemikiran Islam pada beberapa dekade tersebut sebelum Mawdudi muncul. Tulisan-tulisan Muhammad Abduh (1849-1905), Jamal al-Din Afghani (1838-97), dan Sayyid Ahmad Khan (1817-98) tidak memperlihatkan “keasyikan” dengan wacana Islamisasi ilmu ekonomi.20 Lebih dari dua dekade berikutnya, kontribusi seminal lainnya pada ekonomi Islam diberikan oleh Sayyid Qutb (1906-1966), asal Mesir, dan Muhammad Baqir Sadr (19311980), asal Irak. Sama dengan Mawdudi, mereka juga menunjukkan prestasi ekonomi awal Islam pada abad ke-7 masyarakat Arab sebagai bukti betapa prinsip-prinsip Islam mampu memberikan keuntungan kepada masyarakat secara ekonomi. Meskipun berbeda dalam menjelaskan rincian cacatan sejarah, para perintis ekonomi Islam ini menggangap benar, tanpa menyelidiki terlebih dahulu, bahwa prinsip-prinsip Islam pernah diikuti secara luas pada zaman Nabi Muhammad SAW, bahwa para pemimpin Muslim berikutnya dapat mengatasi persoalan ekonomi dengan memberlakukan aturan-aturan untuk individu, dan bahwa ajaran 17 Timur Kuran, Islam and Mammon: The Economic Predicaments of Islamism. ( Princeton: Princeton University Press, 2004), 83 18 Ibid., 84 19 Ibid., 91 20 Timur Kuran, Modern Islam and The Economy”, dalam Robert W. Hefner (ed) The New Cambridge History of Islam, volume 6. (New York: Cambridge University Press, 2011). 484 AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
  9. 197 ekonomi Islam bermanfaat untuk perekonomian modern berdasarkan pada pertukaran impersonal , sebagaimana perekonomian Abad Pertengahan yang pertukarannya kebanyakan di antara teman kenalan. Tidak ada satupun kontributor ekonomi Islam yang berupaya menjelaskan mengapa, suatu peristiwa tertentu, kebijakan ekonomi yang bagus tersebut terbukti tidak bisa bertahan. Karena memusatkan perhatian pada contoh-contoh perilaku dengan memuja-muja umat Islam awal, tulisan-tulisan mereka tentang ekonomi lebih membahas perilaku baik pribadi yang berakar dari kesalehan individual. Dengan mengagung-agungkan Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah misalnya, mereka juga menekankan kemungkinan mengatasi kelemahan moral individu melalui keimanan dan pendidikan. Maka, sejak kemunculannya, ekonomi Islam bertentangan dengan kerangka teoritis ekonomi neoklasik (modern); sebuah metodologi ekonomi yang saat ini masih dominan sejak pertengahan abad ke-20. Dengan asumsi bahwa dalam kebanyakan konteks manusia pada dasarnya adalah egoistis, ekonomi neoklasik mencoba memberikan solusi yang memungkinkan individu dan kolektif hasil yang teliti, dan pada akhirnya mekanisme sosial tersebut bertanggung jawab pada hasil itu sendiri. Ekonomiekonom Islam pada umumnya tidak memperdulikan akibat atas kemunduran ekonomi umat Islam, korupsi yang mejaralela di masyarakat Muslim, dan ketidakadilan yang mengganga baik dalam dan di antara negara-negara Muslim, serta menyebutkan begitu saja kegagalankegagalan yang ada sebagai akibat dari sistem ekonomi tidak Islami di dunia Muslim. Orientasi ini membatasi perhatian ekonomi Islam menerima dari para sarjana dengan pelatihan formal ekonomi. Kebanyakan ekonom Muslim profesional memperlakukan ilmu ekonomi sebagai wilayah sekuler, paling tidak secara implisit, dan melakukan analisis ekonomi dengan kerangka teoritis yang bebas agama. 21 Bagi Kuran, waktu kemunculan ekonomi Islam mengandung teka-teki. Menjelang tahun 1940an, dunia Islam sangat jelas memperlihatkan keterbelakangan. Masa-masa kejayaan telah hilang. Lalu mengapa seseorang harus khawatir tentang kinerja ekonomi umat Islam, sehingga harus mencari solusi “kembali ke Islam”? Menurut Kuran, bagi seseorang yang tertarik menyingkirkan rintangan untuk mencapai modernisasi dan kemajuan ekonomi, cara yang paling menjanjikan adalah mempelajari lembaga-lembaga ekonomi yang dimiliki Barat. Sudah pasti, sejarah ekonomi Islam penuh dengan pelajaran berharga untuk pembangunan ekonomi. Akan tetapi, jika pelajaran-pelajaran berharga tersebut mengharuskan munculnya ekonomi Islam, mengapa kehadirannya sangat terlambat? Setidak-setidaknya, kata Kuran, hubungan antara munculnya ekonomi Islam dan manfaat institusi ekonomi Islam patut dicurigai karena kekayaan sejarah ekonomi Islam tidak ditemukan dalam ekonomi Islam. 22 Ekonomi Islam, bagi Kuran, tidak muncul untuk memperbaiki ketidakseimbangan, ketidakadilan, dan ketidaksamaan. Orang-orang Islam India yang menciptakan ekonomi Islam pada tahun 1940an tersebut dimotivasi oleh keinginan mempertahankan peradaban Islam dari gempuran budaya asing. Tulisan-tulisan Mawdudi telah menciptakan kontribusi terhadap literatur-literatur tentang ekonomi Islam selanjutnya. Pendekatan baru pada bidang ekonomi ini digunakan sebagai sarana membangun kembali otoritas Islam di sebuah wilayah di mana umat Islam sangat dipengaruhi pemikiran-pemikiran Barat. Dengan mengganti pendekatan 21 Timur Kuran, “Economic Justice in Contemporary Islamic Thought”, dalam Jomo K.S. (ed.) Islamic Economic Alternatives: Critical Perspectives and New Directions. (Kuala Lumpur: Ikraq, 1993), 142-143 22 Timur Kuran, Modern, 485 AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
  10. 198 ekonomi Barat dengan pendekatan Islam , Mawdudi berrharap mampu memulihkan harga diri masyarakat Islam dan menggalang persatuan umat Islam.23 Mawdudi percaya bahwa jika umat Islam melakukan aktivitas ekonomi secara sekuler, transformasi ekonomi yang sedang berlangsung akan membuat kehidupan umat Islam juga sekuler. Akan tetapi, jika pengambilan keputusan ekonomi memperhatikan pertimbangan agama, kehidupan umat Islam akan tetap memiliki karakter religius dalam mencapai kemakmuran. Pandangan Mazhab Mainstream Kuran yang begitu sukarela mengkritik asal-usul kemunculan ekonomi Islam tenyata membuat beberapa ekonom Islam sukar rela. Berbagai sanggahan datang dari eksponeneksponen ekonomi Islam. Berikut ini penulis kemukakan bantahan atas gagasan Kuran tersebut. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, bahwa menurut Kuran, ekonomi Islam muncul menjelang masa penjajahan atas India sebagai bagian dari kampanye mempertahankan identitas keagamaan budaya tradisional minoritas Mulsim India. Menurutnya, tokoh yang menyuarakan istilah “ekonomi Islam” adalah Mawdudi, seorang ideolog asal Pakistan. Penilaian Kuran ini segara dibantah oleh M. Umer Chapra. Penilaian bahwa Mawdudi mempromosikan gagasan ekonomi Islam sepenuhnya salah. Menurut Chapra, Mawdudi tidak pernah menciptakan atau mempopulerkan istilah ekonomi Islam. Lebih lanjut Chapra mengatakan bahwa Mawdudi bukanlah seorang ekonom dan tidak pernah bergelut dengan ekonomi sebagai ilmu. Kebangkitan kembali ekonomi Islam di zaman modern ini adalah hasil tulisan-tulisan sejumlah intelektual, termasuk Hifz al-Rahman Sewharwi, Anwar Iqbal Qureshi, Sayyid Manazir Ahsan Gilani, Shaikh Mahmud Ahmad, dan M. Yusufuddin di anak benua Indo-Pakistan; dan Shaikh Muhammad al-Ghazali, Hasan alBanna, Mustafa al-Sibai Isa Abduh, Baqir al-Sadr, dan Muhmud Abu Saud di dunia Arab. Sejumlah kontribusi berharga juga diberikan oleh sarjana-sarjana di Indonesia, Malaysia, Turki, Iran, Nigeria. Buku Sewharwi dalam bahasa Urdu tentang sistem ekonomi Islam diterbitkan pada 1939 –dua tahun sebelum ceramah Mawdudi tentang “Islam dan Persoalan Ekonomi Manusia” di Aligarh di India sebelum menjadi negara bagian, dan sebelum pendirian Jamaah Islamiyah pada Agustus 1941. Selain itu, buku Gilani, Islami Ma’ashiyat, dan buku Shaikh Mahmud Ahmad, Economics of Islam, yang keduanya diterbitkan pada 1947, barangkali merupakan buku pertama dalam bahasa Urdu dan Inggris di anak benua Indo-Pakistan yang menggunakan istilah “ekonomi Islam”. Baik Sewharwi maupun Gilani atau Mahmud Ahmad bukanlah anggota Jamaah Islamiyah. Masih menurut Chapra, Mawdudi tidak pernah menggunakan istilah ekonomi Islam dalam tulisan-tulisannya. Dia membahas dasar-dasar sistem ekonomi Islam, namun bukan ekonomi Islam, dan keduanya tidaklah sama. Penilaian Kuran bahwa warisan ekonomi Islam adalah mitos juga bisa dipertanyakan. Disiplin ekonomi Islam sudah ada sejak lama sebelum disiplin tersebut dibedakan secara nama. Istilah ekonomi Islam tidak diragukan lagi berasal dari abad ke-20, namun idenya 23 Timur Kuran, Islamic Economics and the Islamic Subeconomy, dalam The Journal of Economic Perspectives, Vol. 9, No. 4 (Autumn, 1995), 155-173 AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
  11. 199 sudah ada sejak awal kemunculan Islam dan khususnya dalam tulisan-tulisan penggagas seperti Abu Yusuf , (meninggal. 798), al-Mawardi; (meninggal. 1058), Ibn Hazm (meninggal. 1064), al-Sarakhsi; (meninggal. 1090), al-Tusi; (meninggal. 1093), al-Ghazi: (meninggal. 1111), al-Dimashq; (meninggal. 1175), Ibn Rushd (meninggal. 1198), Ibn Taymiyya (meninggal. 1328), al-Shatibi; (meninggal. 1388), Ibn Khaldun (meninggal. 1406), and Shah Waliyullah (meninggal. 1762). Chapra tidak mampu menunjukkan dengan tepat kapan kata al-iqtisād al-Islāmi atau ekonomi Islam bermula. Akan tetapi, menurut dia, ekonomi Islam memiliki akar dalam tulisan-tulisan historis penafsir Al-Quran, ahli fikih, sejarawan, dan filsuf moral, politik dan sosial. Ekonomi Islam merupakan bagian integral dari filsafat moral dan sosial Islam hingga Perang Dunia II ketika kemerdekaan sebagian besar negara-negara Muslim dan perlunya mengembangkan ekonomi mereka berdasarkan ajaran-ajaran Islam. 24 Selain Chapra, tokoh lainnya yang mengkritik asal-usul istilah ekonomi Islam versi Kuran adalah Abdul Azim Islahi, profesor pada Islamic Economics Institute, King Abdulaziz University, Jeddah, Saudi Arabia. Dalam tulisannya berjudul “The Genesis of Islamic Economics” Revisited, Islahi mengutip pernyataan Kuran yang mengatakan bahwa: “In addition to "Islamic economics," Mawdudi coined or popularized many other terms that quickly became key elements of Islamist discourse, including "Islamic ideology," "Islamic politics," "Islamic constitution," and "Islamic way of life". Pernyataan ini sangat tidak benar. Penulis kontemporer, yang menguasai bahasa Urdu, Arab, dan Inggris yang mengkaji ekonomi, setelah melakukan survey karya-karya Mawduwi menyimpulan bahwa Mawdudi tidak pernah menggunakan istilah ekonomi (dalam bahasa Urdu ma`ashiyat or iqtisadiyat). Jelaslah, menurut Islahi, bahwa apa yang diinginkan Mawdudi adalah perubahan dalam kehidupan ekonomi masyarakat, bukan “ilmu ekonomi” dan dia tidak pernah menggunakan istilah “ekonomi Islam”.25 Sebagaimana dikatakan Kuran bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi gerakan Islam fundamentalistis. Berkenaan dengan ini, Abbas Mirakhor mengatakan bahwa ekonomekonom Barat ternama yang melancarkan kritik keras terhadap globlalisasi karena keburukan dan manafaatnya yang tidak merata. Apakah orang-orang ini juga dikategorikan sebagai “Muslim Fundamentalistis”? Apakah semua ekonom ini, yang mengkritik ekonomi yang mengabaikan moral dan etika juga disebut “Muslim Fundamentalistis”? 26 Itulah pertanyaanpertanyaan Abbas kepada ekonom asal Turki ini, yang sepanjang pengetahuan penulis, belum dijawab oleh Kuran melalui tulisan tandingan. Kesimpulan Dari pembahasan di atas, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan. Pertama, menurut Timur Kuran sebagai pelopor mazhab Alternatif-Kritis, geneologi istilah “ekonomi Islam” muncul pada tahun 1940an di akhir masa penjajahan India. Istilah tersebut pertama kali dicetuskan oleh Abu al-A’la Mawdudi (1903-1979). Kontribusi seminal lainnya pada 24 M. Umer Chapra, Correspondence, dalam Journal of Economic Perspective. Vol. 10, No. 3, Summer (1996 ), 189-198 25 Abdul Azim Islahi, “The Genesis of Islamic Economics” Revisited. 10th International Conference on Islamic Economic and Finance 26 Abbas Mirakhor. A note on Islamic Economics. (Jeddah: Islamic Development Bank, 2007), 27 AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
  12. 200 literatur ekonomi Islam diberikan oleh Sayyid Qutb (1906-1966), asal Mesir, dan Muhammad Baqir Sadr (1931-1980), asal Irak. Istilah“ekonomi Islam” diciptakan oleh kelompok Islam fundamentalistis. Kedua. Menurut Mazhab Mainstream, Mawdudi tidak pernah mencetuskan istilah ekonomi Islam. Disiplin ekonomi Islam sudah ada sejak lama sebelum disiplin tersebut dibedakan secara nama. Istilah ekonomi Islam tidak diragukan lagi berasal dari abad ke-20, namun idenya sudah ada sejak awal kemunculan Islam dan khususnya dalam tulisan-tulisan penggagas seperti Abu Yusuf, (meninggal. 798), al-Mawardi; (meninggal. 1058), Ibn Hazm (meninggal. 1064), al-Sarakhsi; (meninggal. 1090), al-Tusi; (meninggal. 1093), al-Ghazi: (meninggal. 1111), al-Dimashq; (meninggal. 1175), Ibn Rushd (meninggal. 1198), Ibn Taymiyya (meninggal. 1328), al-Shatibi; (meninggal. 1388), Ibn Khaldun (meninggal. 1406), and Shah Waliyullah (meninggal. 1762). Daftar Rujukan A. Karim, Adiwarman. 2010. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Chapra, M. Umer. 1996. Correspondence, dalam Journal of Economic Perspective. Vol. 10, No. 3, Summer. Deliarnov. 2012. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Cet-7. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Foucault, Michel .2006. “Truth and Power”. Dalam The Chomsky and Foucault Debate on Human Nature. New York-London: the New Press. Foucault, Michel. 2004. The Archeology of Knowledge. London: Routledge. Hoetoro, Arif. 2007. Ekonomi Islam: Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi. Malang: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Islahi, Abdul Azim. “The Genesis of Islamic Economics” Revisited. 10th International Conference on Islamic Economic and Finance. Kuran, Timur. 1993. “Fundamentalism dan the Economy” dalam Martin E. Marty and R. Scott Appleby (ed) Remaking Polities, Economies, and Militance. Chicago and London: The University of Chicago Press. Khan, Omar Asghar. 1993. “Economic Aspect of Islamisation in Pakistan” dalam Jomo K.S. (ed.) Islamic Economic Alternatives: Critical Perspectives and New Directions. Kuala Lumpur: Ikraq. Kuran, Timur. 2013. Economic Theory, dalam Gerhard Bowering (ed) The Princeton Encyclopedia of Islamic Political Thought. Princeton University Press. Kuran, Timur. 2004. Islam and Mammon: The Economic Predicaments of Islamism. Princeton: Princeton University Press. Kuran, Timur. 2011. “Modern Islam and The Economy”, dalam Robert W. Hefner (ed) The New Cambridge History of Islam, volume 6. New York: Cambridge University Press. Kuran, Timur. 1993. “Economic Justice in Contemporary Islamic Thought”, dalam Jomo K.S. (ed.) Islamic Economic Alternatives: Critical Perspectives and New Directions. Kuala Lumpur: Ikraq. Kuran, Timur. 1995. “Islamic Economics and the Islamic Subeconomy”. The Journal of Economic Perspectives, Vol. 9, No. 4 (Autumn, 1995), pp. 155-173 AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015
  13. 201 Latif , Yudi. 2012. Intelegensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi. Mirakhor, Abbas. 2007. A note on Islamic Economics. Jeddah: Islamic Development Bank. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Douglas. 2011. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. alih bahasa Nurhadi . Yogyakarta: Pustaka pelajar. Ritzer, George. 1984. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: CV Rajawali. Triono, Dwi Condro. 2014. Ekonomi Islam Madzhab Hamfara. Cet-3. Yogyakarta: Irtikaz. AKADEMIKA, Volume 9, Nomor 2, Desember 2015